Mewujudkan Kota Pasuruan Sebagai Kota Cerdas (Bagian ke-3)
(Refleksi Hari Jadi Kota Pasuruan ke-336
Wartapro.com (8/2)
Pada hari Selasa 8 Februari 2022 jatuh pada peringatan Hari jadi kota Pasuruan Jawa timur yang ke 336 tahun.
Berikut laporan Agus Harianto Redaktur wartapro.com sei ke 3 habis.
Fenomena Hari Jadi Kota Pasuruan yang jatuh pada 8 Februari 2022 menjadi sesuatu yang perlu dicermati bersama. Perdebatan dalam hal ketepatan tanggalnya juga masih akan menjadi perdebatan sengit karena sudut pandang yang berbeda. Satu sisi, dalam perspektif administrasi pemerintahan dan, yang lain, melihat dari sisi eksistensi sebuah kota secara holistic, termasuk dengan pendekatan Ebenezer Howard, Pakar Tata Kota Klasik, Magnet Theory. Kota Pasuruan memiliki akar budaya yang luhur dan lama serta hiruk-pikuk kehidupan kota sudah dirasakan dari satu generasi ke generasi lainnya.
Namun, promosi Kota Pasuruan Masih minim proses diferensiasi yang memiliki ciri superioritas dan keunikan. Dalam pertemuan dengan semua warga, baik birokrat atau pun masyarakat luas, Gus Ipul, Walikota Pasuruan, selalu mengatakan perlunya kreativitas dan inovasi dari masing-masing instansi, termasuk pranata sosial yang digerakkan atau diciptakan masyarakat. Tapi, belum semuanya mewujudkan harapan Gus Ipul. Faktor utamanya adalah mereka sudah merasa enjoy di zona nyaman.
Dalam mempromosikan Kota Pasuruan ada banyak hal yang perlu diperhatikan agar menjadi beragam citra positif. Antara lain, optimalisasi komoditas pariwisata: wisata religi, wisata budaya, dan wisata tujuan lain. Penggalian tiga jenis pariwisata ini menjadi sesuatu yang urgen dilakukan jika ingin Kota Pasuruan maju dengan taglinenya: ‘Kota Madinah’ yang merupakan akronim dari visinya, yaitu ‘Maju Ekonominya, Indah Kotanya, dan Harmoni Warganya.’
Dari ketiga visi di atas, masih dalam proses mewujudkannya. Sisi ekonomi digenjot untuk memiliki daya saing tinggi, business creativity. Kota Pasuruan belum sepenuhnya indah karena masih banyak hal yang kurang diperhatikan, misalnya penggunaan infrastruktur jalan, fungsi trotoar, mobilitas warga, pemanfaatan fasilitas publik, dll. Mencermati persoalan ini, salah satu pakar tata kota dunia berkata, “Pedestrians are the signs that the city is alive” (Para pejalan kaki adalah tanda bahwa suatu kota itu hidup).
Di banyak kota, termasuk Kota Pasuruan, para pejalan kaki harus mengalah dengan para penjual di trotoar dan seakan-akan trotoar milik mereka. Mereka dengan seenaknya berjualan tanpa mengindakan fungsi trotoar yang sebenarnya. Gus Ipul sudah mulai menertibkan hal ini secara bertahap. Upaya ini memang sulit tapi harus dijalankan. Jika hal ini dilakukan mulai dahulu, tentu saat ini tinggal pembinaan atau penertiban saja. Karena adanya, meminjam terminologi Foucault, Discontinuity (Diskontinyuitas) artinya tidak ada kesinambungan historis antara pemerintahan sebelumnya dengan yang sekarang, maka perlu extraordinary actions. Gus Ipul dan Mas Adi harus bekerja ekstra maksimal untuk mewujudkan fungsi trotoar yang nyaman bagi para pejalan kaki. Infrastruktur lainnya juga perlu mendapat sentuhan-sentuhan planologis.
Di sisi yang berbeda, pengguna jalan juga terkadang dihalangi oleh para Pedagang Kaki Lima (PKL), dengan beragam jenisnya, baik menjual jasa, permainan akan-anak, makanan dan minuman, dll., yang seenaknya menjual dan menawarkan barang dagangannnya. Jalan menjadi milik mereka sehingga para pejalan kaki dan kendaraan yang harus memanfaatkan infrastruktur jalan harus ‘mengalah sebelum berjuang.’ Selain itu, penataan parkir juga seenaknya diatur juru parkir yang kurang profesional. Di sepanjang Jalan Sumatra dan Belitung bisa kita saksikan pemandangan yang ‘ingkar tata kota’ ini. Fenomena tragis ini tidak bisa menjadikan Kota Pasuruan menjadi salah satu indikator smart city yaitu smart mobility.
Dalam buku berjudul Cities Alive: Toward a Walking World (ARUP, 2016) dikatakan, “In a city the street must be supreme. It is the first institution of the city….” (Dalam sebuah kota jalan harus lebih utama. Jalan merupakan sebuah institusi kota yang utama). Merujuk pendapat ini, adagium: ‘Indah Kotanya’ masih harus terus diupayakan. Saya percaya, Gus Ipul dan Mas Adi perlu disebut, sebagai, memparafrase pendapat Arup, the drivers of change (Para pengendali perubahan), (Ibid., hal 10) sehingga mampu melakukan desain tata kota yang baik.
Di sisi lain, ‘Harmoni Warganya’ memang terjadi karena upaya tokoh masyarakat, organisasi massa (Ormas) dan organisasi-organisasi lainnya. Ini merupakan usaha sinergis antara Pemkot Pasuruan dengan tokoh masyarakat, organisasi-organisasi massa, profesi, termasuk Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), masyarakat sipil (civil society), dll. dalam memberdayakan anggotanya berbasis agama, ras, etnis, dan golongan. Jadi, harmoni warganya sedikit demi sedikit sudah mulai tertata karena ada kesinambungan dalam kurun waktu yang tak terbatas.
Apa yang dilakukan Gus Ipul-Mas Adi, meskipun masih jauh dari sempurna, sudah menunjukkan etape dan kronologi desain tata kota yang inklusif dengan pondasi sektor ekonomi. Perkembangan ekonomi, menurut Richard Florida dalam Cities and the Creative Class (2003), dicirikan oleh tiga hal: teknologi, bakat, dan toleransi. Teknologi, mengacu ke Revolusi Industri 4.0 atau Society 5.0 tentang Internet of Things (IoT) sebagai aplikasi kerja dan kinerja, bakat, sebagai bentuk pemberdayaan, meminjam istilah Elfiky (2010), personal power dan perasaan positif, dalam melakukan tugas-tugas mulia, dan toleransi, merupakan upaya mewujudkan smart people dan smart environment, dalam kerangka living together in harmony.
Semua indikator dan perangkat di atas hendaknya berbasis budaya dan kearifan di mana masyarakat itu tinggal dan hidup. Pembangunan kota yang berorientasi pada budaya (culture-based urban development) adalah sesuatu yang urgen dilakukan. Jadi, bukan hanya, menurut Florida, penggalian tambang emas, batu bara, dll. Untuk alasan ini, tulisan Tora Byrne dalam Creative City and Cultural Policy: Opportunity and Challenge menarik dicermati. Ia mengutip pernyataan Landry: “Cultural resources are the materials of the city and its value base.” (Sumber daya budaya adalah sebagai bahan dasar kota dan pondasi nilai asasinya).
Mumpung di momentum Peringatan Hari Jadi Kota Pasuruan yang ke-336 dan diperingati di Gedung Kesenian Darmoyudo pagi hari ini, Selasa, 8 Februari 2022, kita semua, para birokrat dan rakyat, perlu melakukan introspeksi diri dan memajukan Kota Pasuruan menuju smart town yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif berbasis nilai-nilai budaya dan kearifan lokal. Dengan begitu, perwujudan ‘Kota Madinah’ akan mampu menunjukkan branding dan packaging kota yang, meminjam istilah Rhenald Kasali (2017) dalam Disruption, harus didisrupsi melalui kreativitas dan inovasi banyak hal dengan cara thinking outside the box.
Semoga Peringatan Hari Jadi Kota Pasuruan ke-336 ini tidak hanya merupakan eforia belaka yang berujung pada historical hysteria. Tapi, hendaknya momentum Hari Jadi dijadikan sebagai driving force menuju Kota Pasuruan yang sarat dengan budaya keadaban dan smart thinking seperti yang dicontohkan Madinatur Rasul (Kota Madinah yang dicontohkan Nabi Muhammad Saw.). Dengan begitu, ‘Kota Madinah’ versi Kota Pasuruan akan mengarah ke ‘Kota Madinah’ ciptaan Nabi Muhammad. SEMOGA BISA! []
Tulis Komentar