Rekonstruksi Kurikulum PAI yang Rahmatan Lil’alamin: Sehat dan Aman bagi Peserta Didik
0leh ; Affandi.
Mahasiwa Prodi Doctor PAI Universitas Muhamadiyah Malang 2021.
NIM : 202110520111018
Kata Rekonstruksi berasal dari bahasa Inggris ”reconstruct”, yang berarti menyusun kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksi merupakan suatu aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dengan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak modern. Jadi rekonstruksi kurikulum merupakan proses untuk merancang ulang kurikulum karena tuntutan kebutuhan untuk merubah secara pasti. Hal-hal penting yang perlu diingat dalam rekonstruksi kurikulum yaitu kurikulum merupakan suatu proses dinamis yang membutuhkan suatu implementasi yang sistemik dan bertahap. Kurikulum hendaknya mempunyai suatu “dibangun dalam sistem umpan balik” yang akan mempermudah proses modifikasi dan penyesuaian dalam proses pembenahan kurikulum. Dekan dan Mahasiswa memiliki dampak yang amat berharga dalam proses merekonstruksi kurikulum.
Rekonstruksi dalam pendidikan didorong adanya tuntutan yang menghendaki agar sekolah berperan mengambil bagian dalam membangun masyarakat masa depan. Kurikulum pada semua jenjang dan jenis pendidikan dikembangkan dengan prinsip diversifikasi sesuai dengan satuan pendidikan, potensi daerah, dan peserta didik”, Pelaksanaan kurikulum di atas sarat akan berbagai macam kendala seperti tingginya keragaman masyarakat Indonesia, mulai dari dimensi sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi. Dan keragaman ini berdampak pada kemampuan pendidik dalam melaksanakan kurikulum. Kemampuan sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar juga berpengaruh terhadap kemampuan anak didik untuk berproses dalam kegiatan belajar serta berpengaruh dalam mengolah informasi menjadi sesuatu yang diterjemahkan sebagai suatu hasil belajar. Keragaman masyarakat Indonesia menjadi suatu variabel bebas yang memiliki kontribusi signifikan terhadap keberhasilan implementasi kurikulum yang ada, baik sebagai proses maupun sebagai suatu hasil.Oleh karena itu, bentuk kurikulum mau tidak mau harus direkonstruksi menjadi kurikulum yang mencerdaskan dan membebaskan siswa dari segala bentuk penindasan, diantaranya:
1.Mengubah filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam menuju kurikulum filosofis yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi serta jenjang pendidikan dan unit pendidikan. dalam artian penekanan pada upaya pengembangan kemampuan kemanusiaan anak-anak didik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, bangsa, dan dunia harus diutamakan implementasinya.
2.Teori kurikulum tentang konten (isi) harus digeser dari teori yang dimaknai sebagai aspek substantif yang mengandung fakta, teori, dan generalisasi menuju pada pengertian yang mencakup nilai, moral, prosedur, proses, dan keterampilan yang harus dimiliki anak didik.
3.Teori belajar yang digunakan dalam lingkungan masa depan yang memperhatikan keragaman sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak lagi hanya mendasarkan diri bersifat individualistik dan menempatkan anak didik dalam suatu kondisi bebas nilai, tetapi harus pula didasarkan pada teori belajar yang menempatkan anak didik sebagai makhluk sosial, budaya, politik dan hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa dan dunia.
4.Proses belajar yang dikembangkan untuk anak didik juga harus berdasarkan pada proses yang mempunyai tingkat isomorfosis tinggi dengan kenyataan sosial. Dengan kata lain, belajar berkelompok secara kompetitif dalam suasana positif harus dihidupkan.
Muatan Pendidikan Agama Islam dalam kurikulum yang dipakai di Indonesia saat ini mengajarkan kepada semua generasi muda Islam yang sedang mengenyam pendidikan di bangku sekolah maupun kuliah tentang hidup yang ramah, hidup berdampingan dan saling menghormati sesama manusia walaupun berbeda agama dan keyakinan. Namun ada sedikit anak bangsa yang masuk pada jaringan gerakan transnasional yang radikal dan dekat dengan terorisme, hal ini karena rendahnya pemahaman terhadap Islam secara utuh. Islam sendiri, menurut KH. Abdurrahman Wahid (dalam the wisdom of Gus Dur , 2014) mengajarkan toleransi, sebagaimana kita diminta oleh kitab suci yang kita yakini, bahwa Islam adalah pelindung bagi semua orang termasuk kaum non-Muslim. Ini bersesuaian dengan ayat yang berbunyai Mawa arsalnaaka illa rahmatan lil-‘alamin (Tiada Ku-utus engkau kecuali sebagai penyambung tali persaudaraan dengan sesama umat manusia). Dari sinilah muncul istilah Islam rahmatan lil-‘alamin, yaitu Islam yang ramah, Islam yang jauh dari kekerasan sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW. Konsep ini berbalik dengan gerakan transnasional yang membawa bendera Islam, namun perilakunya fundamental yang suka mengkafirkan umat Islam yang tidak sepaham, radikal dan penuh teror. Pendidikan Agama Islam rahmatan lil ‘alamin menjunjung tinggi keanekaragaman budaya atau multikultural. Menurut istilah, Moh. Dahlan (2013:45) mendefinisikan multikultural adalah sebuah paradigma tentang kesetaraan semua ekspresi budaya. Meletakkan komunitas lain sebagai kesatuan integral yang setara walaupun terdapat perbedaan dalam tradisi, keyakinan keagamaan maupun budaya, Paham ini menerima adanya perbedaan sebagai realitas alamiah dan juga sekaligus menegaskan bahwa setiap perbedaan itu memiliki posisi yang setara dalam peran dan pengambilan kebijakan. Lawrence A. Blum (dalam Moh. Dahlan, 2013:76) mengatakan bahwa multikulturalisme memiliki tiga elemen esensial, yakni; (a) menegaskan identitas kultural seseorang dengan cara mempelajari dan menilai warisan budaya seseorang tersebut; (b) menghormati dan berkeinginan untuk memahami dan belajar kebudayaan lain selain budayanya sendiri; (c) menilai dan merasa cocok dengan adanya perbedaan sebagai kenyataan hidup yang dianggap positif, harus dihargai dan dipelihara. Pendidikan Agama Islam rahmatan lil’alamin bertujuan, Pertama, tujuan attitudinal (sikap), yaitu membudayakan sikap sadar, sensitif, toleran, respek terhadap sesama, responsif terhadap berbagai permasalahan yang timbul di masyarakat. Kedua, tujuan kognitif, yaitu terkait dengan pencapaian akademik, pembelajaran berbagai pemikiran dan faham Islam yang ramah dan toleran. Ketiga, tujuan instruksional, yaitu menyampaikan berbagai informasi mengenai berbagai kelompok yang sesuai dengan ajaran Rosul SAW dan yang tidak sesuai dengan ajaran Rosul SAW secara benar dan berimbang dari berbagai buku teks maupun dalam pengajaran.
Ada faktor-faktor yang harus dipenuhi dalam rangka mengimplementasikan pendidikan agama Islam rahmatan lil’alamin di sekolah sehingga dapat berjalan dengan efektif dan mampu membentuk karakter yang toleran terhadap sesama:
Pertama, Meningkatkan pemahaman pendidik terhadap peran dan fungsinya dalam konteks perundang-undangan
Kedua, penerapan pendidikan agama dan keagamaan yang sesuai dengan amanat undang-undang dan peraturan yang ada di Indonesia, mulia dan mampu menjaga kedamaian dan kerukunan hubungan intern dan antar umat beragama”.
Ketiga, kurikulum yang berlaku di Indonesia sangat menghargai keragama budaya dan keyakinan, hal ini bisa dikaji pada aspek latar belakang perubahan kurikulum 2013, dimana tantangan masa depan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kemampuan menjadi warga Negara yang bertanggung jawab dan kemampuan mencoba untuk mengerti dan toleran terhadap pandangan yang berbeda.
Keempat, Pendidik mampu mengembangkan bahan ajar, sumber belajar dan media pembelajaran yang berbasis Islam rahmatan lil’alamin, hal ini penting karena dengan menyajikan bahan ajar, sumber belajar dan media pembelajaran yang berbasis Islam rahmatan lil’alamin akan memberikan pengalaman belajar yang nyata pada peserta didik, bagaimana seseorang harus menghargai dan menghormati perbedaan-perbedaan yang ada.
Indahnya Indonesia dengan beragam suku, ras, budaya dan agama, yang hidup rukun dalam kebersamaan untuk mencapai cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, haruslah terus dijaga, dipupuk, dan dilestarikan dengan kemauan hidup bersama dalam toleransi. Negara Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim, di negeri tercinta ini telah memilih jalan kebersamaan dalam kebhinekaan suku, bahasa dan agama. Filosofi tersebut dikenal sejak zaman Majapahit dengan semboyan Bhineka Tunggal Ika. Berbeda-beda dan mejemuk, tetapi tetap menjadi satu dalam ikatan kebangsaan Indonesia.
Pendidikan Agama Islam rahmatan lil’alamin adalah jawaban mutlak yang harus dikembangkan oleh pendidik PAI dalam pembelajarannya, yang menghargai humanisasi, dan untuk menjadi pilar yang mencerminkan adanya kebersatuan dan kesamaan, dalam rangka mewujudkan cita-cita bersama sebagaimana telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia yaitu hidup berdampingan semua suku, ras, bahasa dan agama yang ada di Indonesia dalam kesejahteraan bersama dan keadilan sosial.
Peran semua pendidik Pendidikan Agama Islam sangat sentral dan strategis dalam mengimplementasikan pendidikan agama Islam yang rahmatan lil’alamin di Indonesia, karena dari seorang pendidik akan terbentuk watak dan kepribadian murid. Kalau pendidiknya seorang yang toleran maka akan lahir murid yang toleran, jika pendidiknya menyukai kedamaian dan kerukunan, maka akan lahir murid yang gemar kedamaian dan kerukunan, sebaliknya jika pendidiknya menanamkan bibit-bibit intoleransi, disintregasi bangsa, kecurigaan dan kebencian dengan sesama anak bangsa, maka yang lahir adalah murid yang radikal dan suka teror dan menjadi perusak perdamaian dan kerukunan. Pada pundak pendidik pendidikan agama Islam masa depan bangsa ini berada. Semoga para pendidik dapat mengemban amanat bangsa Indonesia dengan sebaik-baiknya, yaitu bangsa yang toleran, rukun, suka damai dan menghormati perbedaan-perbedaan.
Tulis Komentar