Mengenang Kyai Cholil pengasuh Ponpes Sidogiri Pasuruan

$rows[judul]

Biografi KH Kholil Nawawi Ponpes Sidogiri.

Diambil dari berbagai sumber.

Sekitar tahun 1925 M/ 1343 H. lahirlah seorang bayi laki-laki dari pasangan KH. Nawawi bin Nurhasan Sidogiri dengan Nyai Nadzifah. Di kemudian hari, bayi itu diberi nama Muhammad Cholil. Nama itu adalah pemberian dari Syaikhona Cholil Bangkalan. Konon, Mbah Cholil mengatakan bahwa kelak Cholil kecil akan menjadi penggantinya.

Ketika beliau masih di dalam kandungan dibawalah oleh orang tua beliau Kyai Nawawi Sidogiri beserta istrinya yang tengah mengandung. Ke Madura meminta do’a dan barokah kepada Guru beliau Syaikhona Kholil bangkalan Madura.

Mbah Yai Kholil Berkata dan berpesan : “Mon Kanak areyah Lahir senga’ beri’ nyama kholil karena kanak reyah tang panaros”

(Ingat, Kalau anak dalam kandunganmu lahir beri nama kholil ya, karena dia adalah penerus saya).

(ada sebuah kisah menarik dimana beliau oleh Allah diberikan karomah yang mirip dengan mbah Syaikhona kholil Bangkalan Madura.

Kiyai Kholil sidogiri adalah seorang figure hamba Allah yang cinta ilmu pengetahuan dan memiliki maqom yang sangat tinggi. Beliau juga termasuk berkawan akrab dengan mbah kiyai hamid pasuruan.

Suatu ketika seorang santri beliau bertamu ke ndalem beliau dan di suguhi makanan dan minuman (kebetulan sang santri entah sedang berpuasa sunnat ataukah berpuasa karena mendalami ilmu hikmah) menolak tawaran Kiyai Kholil.

Akhirnya Kiyai dawuh: “Tirakatnya santri pondok Sidogiri itu dua hal , yaitu Rajin belajar menuntut ilmu di pondok dan istiqamah sholat dengan berjama’ah. Sama halnya dengan kebiasaan Mbah Kiyai maksum lasem beliau akan cepat2 menyuruh santrinya yang berpuasa (entah puasa sunnah atau yang lainnya) untuk berbuka jika sang santri mendapat tugas mengisi bak mandi atau tugas yang berhubungan dengan hajat orang / santri banyak)

Kiyai Mustafa Lekok pasuruan adalah wali Allah yang menjabat sebagai sekretarisnya para wali. Ketika ditanya bagaimanakah maqam Kiyai kholil sidogiri. Beliau menjawab: “ Kiyai Kholil sidogiri itu muqarrabin yang sangat sangat dekat dengan Allah”

Kisah Lain Ketika masih kecil tanpa ada sebab yang jelas kiai kholil kecil berteriak "Meduro kiamat bah, Meduro kiamat bah, Meduro kiamat bah" teriakanya. Kiai Nawawi yang pada saat itu mendengar teriakan putranya menjadi bingung sambil berkata:"Ono opo Lil (ada apa lil)

Meduro Kiamat bah (madura kiamat abah)

Sore harinya nya Kiai Nawawi mendengar kabar ternyata Syaikhona kholil Bangkalan Madura telah meninggal dunia/ wafat. (kematian seorang wali berarti hilangnya tonggak untuk menahan azab Allah dan ruh sesama wali itu saling mengenal)

Kisah lain Gus miek ketika beliau masih kecil berteriak dengan keras di hadapan ayahnya mbah Kiyai Jazuli Ploso Kediri : “ Abah abah onok dayo gede abah 2”

(Abah / bapak ada 2 orang tamu besar / agung menuju pondok)

Selang tidak berapa lama datangnya mas Ghozi diantar ayahnya mbah Kiyai Nurhasan Sidogiri dan pamannya mbah kyai Kholil Sidogiri datang untuk memasukkan mas ghazi mondok di Ploso di pondoknya kyai Jazuli.

Hari demi hari pun berlalu. Cholil kecil tumbuh sehat. Kini, beliau mulai mengeja huruf. Mempelajari kitab-kitab salaf. Beliau berpindah dari satu pondok ke pondok yang lain. Mulai belajar di Sidogiri, sampai mengembara ke Makkah al-Mukarramah.

Konon, beliau juga pernah nyantri di Pondok Pesantren Sarang Jawa Tengah. Saat itu, Sarang dipengasuhi oleh KH. Zubair (Ayahanda KH. Maimum Zubair). Beliau begitu tekun mengaji dan mengkaji. Disamping itu, secara sembunyi-sembunyi beliau mengisi jading KH. Zubair. Setiap pagi, jading sudah terisi penuh. Hati KH. Zubair bertanya-tanya, siapa kira-kira yang mengisi jading. Tak lama kemudian, KH. Zubir pun tahu bahwa yang mengisi jeding adalah Kiai Cholil bin Nawawi dari Sidogiri. Lalu, KH. Zubair berkata kepada Kiai Cholil, “Mas, Kamu pulang saja, kasihan yang lain”

Semangat Kiai Cholil bin Nawawi memang tidak diragukan lagi. Kitab seakan sudah menjadi teman sejati. Tak ada hari tanpa untaian ilmu itu. Bahkan, Nyai Murti, istri kedua Kiai Cholil juga menuturkan, setiap Kiai datang menggilir, beliau tidak pernah lepas dari kitab. Malah menjelang tidurpun beliau masih terus membaca kitab hingga akhirnya tertidur.

Selain itu, Kiai Cholil juga istikamah mengajar. Seakan tidak ada kata libur dalam kamus beliau. Setiap ada kesempatan, beliau pasti mengajar. Mengajar adalah amal baik yang dijadikan tirakat oleh beliau. Konon, suatu ketika Kiai Cholil mengajak Ust. Abdurrahman Syakur menghadiri Undangan dengan menaiki dokar. Di sela-sela perjalanan itu Kiai Cholil menyempatkan mengajarinya ilmu Fara’idh. Alhmadulillah, sampai sekarang pelarajan yang diberikan Kiai Cholil masih melekat.

Perinsip Kiai Cholil Nawawi adalah “ Lazimul Muthala’ah wal Jama’ah Tananlul-Ulum an-Nafi’ah (Tekunlah belajar dan salat berjema’ah, niscaya kau peroleh ilmu yang bermenfaat.”

Kebiasaan lain yang sangat beliau tekuni adalah salat berjemaah. Bisa dikata Kiai Cholil sampai ajal menjemput tidak pernah meninggalkan salat berjemaah. Pada saat sakit pun beliau masih menyempatkan diri untuk salat berjemaah. Salat terakhir beliau adalah salat Isya’ yang dilanjutkan dengan salat tarawih. Waktu itu, beliau sudah sakit parah. Beliau sudah tidak mampu salat berdiri. Namun, dengan tekat menancap di hati beliau melangkah ke masjid untum bermakmum pada KH. Abdul Alim. Dengan tawaduk, beliau bertanya kepada KH. Abdul Alim apakah beliau sudah bisa salat duduk. Setelah itu, beliau salat bermakmu pada KH. Abdul Alim.

Kiai Cholil Nawawi adalah seorang yang begitu peduli pada masyarakat kecil. Beliau begitu kasihan pada mereka. Jika ada orang menjajakan dagagan ke dalem beliau menjelang lebaran, hampir pasti beliau selalu memblinya. Beliau tidak tega jika pedagang kecil itu pulang dengan tangan hampa. Untuk sementara, barang itu akan di simpan di dalem. Ketika hari raya tiba, beliau membagi-bagikan barang itu pada tetangga.

Kiai Cholil juga menyediakan padi untuk masyarakat. Di dalem beliau ada dua lumbung padi, satu untuk keperluan dalem, yang satu untuk persediaan takut masyarakat membutuhkan. Suatu ketika, panin gagal. Masyarakt kelaparan. Mereka pun berduyun-duyun mendatangi dalem Kiai Cholil. Lumbung persediaan untuk dalempun iktu habis. Akan tetapi, masih belum mencukupi. Masyarakat ada yang tidak kebagian. Lalu, Kiai Cholil menangis. Beliau sedih karena merasa tidak bisa membantu masyarakat dengan maksimal.

Kiai Cholil begitu arif memandang kehidupan dunia. Menurut beliau kehidupan dunia hanya perjalanan menuju keabadian. Kehidupan dunia hanya untuk memperbanyak bekal untuk kelak di akhirat. Suatu hari, Kiai Cholil mengadukan perasaannya pada KH. Kholid.

“Lid, Aku sekarang susah.” Kata Kiai Cholil.

“susah kenapa Kiai?” Tanya KH. Kholid.

Lalu, Kiai Cholil menjawab, “Setiap kali saya sedekah, Allah swt. langsung membalasnya. Kemarin, Saya sedekah sarung kepada orang. Tak lama kemudian ada orang mengantarkan saurng 10 helai ke rumah. Beberapa harinya lagi, saya bersedekah, tak lama kemudian ada orang mengantarkan sesuatu yang sama dengan apa yang saya sedekahkan dengan jumlah lebih besar. Saya takut, balasan Allah swt. itu diberikan kepada saya di dunia saja, sementara di akhirat nanti saya tidak mendapatkan apa-apa.” Dawuh Kiai Cholil sambil meneteskan air mata.

Bahkan, saat makan, ketika terasa Nikmat, Kiai Cholil berhenti. Alasannya, “Saya hawatir nikmat saya habis di dunia.” Kata Kiai Cholil. Tak heran, jika Kiai Cholil sering berdo’a, “Ya Allah, hidupkan aku dalam keadaan miskin. Dan ambil nyawaku dalam keadaan miskin. Serta, kumpulkanlah aku bersama orang-orang miskin.

Kia Cholil adalah kiai besar yang tidak mau dibesar-besarkan. Sifat tawaduk mengakar kuat dalam hati beliau. Suatu saat, beliau diundang ke satua acara perkawinan. Ketepatan yang mengundang tidak begitu kenal kepada Kiai Cholil. Saat Kiai Cholil datang, tuan rumah tidak menyambut beliau seperti menyambut kiai besar. Pakaian sederhana kiai membuat tuan rumah tidak mengira bahwa beliau pengasuh Sidogiri. Dengan tenang Kiai Cholil langsung duduk dengan para undangan yang lain.

Selang beberapa lama, tuan rumah tahu bahwa yang duduk dengan masyarakat biasa itu Kiai Cholil. Tuan rumah langsung bangkit dan mempersilahkan kiai Cholil agar masuk ke tempat yang telah disediakan untuk para kiai. Kiai Cholil menjawab, “Sudah di sini saja, sama saja kok.”

Saat saya mondok dulu, guru sy sering menyampaikan dawuhnya Kiai kholil, yaitu kalau kita mengajar, maka sebelum mengajar, kita dianjurkan untuk muthola'ah (belajar) terlebih dahulu agar ilmu yg diberikan membekas dan manfaat.

Ramadhan sudah ada di penghujung akhir. Kiai Cholil tetap memaksa salat Tarawih berjemaah di Masjid meski beliau sakit. Di tengah salat Trawih, beliau pergi ke jading mengambil wudhu'. Ketika mau keluar, Kiai Cholil terjatuh tanpa seorang pun yang tahu. Untunglah, tak selang beberapa lama, khadamnya datang menolong. Si khadam langsung memeluk Kiai Cholil samberi berdiri untuk di anngkat ke dalem, tapi tak lama kemudian beliau menghembuskan nafas terakhir.

Tanpa terasa, air mata tumpah. Isak tangis terdengar sayup-sayup. Hati juga tak kalah sedih karena tak rela kehilangan sang kiai. Beribu-ribu orang hadir memberikan penghormatan terakhir. Dengan mata berkaca-kaca, mereka mengenang dengan doa. Saat itu, keranda seakan berjalan di ujung jari, karena banyaknya orang yang memikul, bahkan tikar yang menjadi alas keranda menjadi rebutan sampai habis. Mereka menginginkan secuil berokah dari Kiai Cholil bin Nawawi.

Kiai Cholil wafat pada malam Senin pon 21 Ramadan tahun 1397 H/ 05 September 1977 M dan dihauli di Pondok Pesantren Sidogiri setiap tanggal 21 Ramadan (sore menjelang magrib)

Semoga kita dapat meneladani dan mengikuti jejak perjuangannya.

Semoga kita diakui sebagai santrinya, baik di dunia maupun di akhirat nanti.Amin

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)