kota Pasuruan mulai menata kota menuju kota Madinah

$rows[judul]


Pasuruan, WartaPro 5/3

Kebijakan yang populis dan aspiratif pastilah dijiwai demokrasi partisipatif dan deliberatif dalam wujud nyata, adanya partisipasi publik dari stakeholders dan adaptabilitas birokrasi yang berakar pada people's satisfaction atau customers' satisfaction. 

Kepuasan warga, meskipun tidak semuanya bisa terpenuhi, karena diskontinuitas faktor-faktor 'want' dan 'need' yang menjadi pelangi angan-angan.

Seperti diketahui bersama, ada kebijakan dari atas ke bawah (top-down policy) yang jika terlalu berlebihan akan menimbulkan kebijakan totaliter. Lawannya, kebijakan partisipatif (bottom-up policy) yaitu kebijakan yang didasarkan pada aspirasi rakyat atau warga sehingga hasilnya bisa dinikmati warga sesuai harapan, walau tidak seratus persen terpenuhi.

Menurut buku berjudul Introduction to the Public Participation Toolkit, partisipasi publik berarti keterlibatan publik, termasuk stakeholders, dalam pembuatan keputusan dan menikmati hasil dari keputusan publik tersebut. 

Dengan kata lain, partisipasi publik adalah sebuah prasyarat tegaknya pembangunan berbasis masyarakat (people-based development). Dengan begitu ada sinergitas antara Pemkot dan warga Kota Pasuruan, termasuk kiprah masyarakat madani (civil society), yang seringkali berada dalam area periferial. 

Peran masyarakat madani (LSM, pers, organisasi profesi, dll,) sangatlah penting sebagai penyeimbang kebijakan populis. Dengan begitu, menurut Kurniawan dan Puspitosari (2016) dalam Negara, Civil Society dan Demokratisasi, peran civil society menjadi pendorong terwujudnya hasil Pembangunan atau kiprah mereka sebagai the agents of reform. 

Kritik konstruktif dari warga dan civil society merupakan amunisi untuk meneguhkan semangat pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Kepedulian mereka adalah satu bentuk partisipasi aktif-berkesinambungan dalam pembangunan.

Alun-alun, misalnya, merupakan produk pembangunan yang berfungsi sebagai jantung kota dan menjadi daya tarik tersendiri bagi warga untuk mengurangi kepenatan, stres, dan depresi secara alami. Healing process seperti ini menjadi satu bentuk nyata betapa warga membutuhkan kenyamanan-kenyamanan. Menurut Bourdiui dalam Politics and Symbolic Power, fenomena relasi kuasa berhubungan dengan proses asosiatif-simbolis. 

Fenomena bureaucratic assiciationism seperti ini merupakan harapan semua orang. Dengan begitu, ada benang merah antara harapan warga dan terpenuhinya tujuan  pembangunan: mewujudkan kesejahteraan rakyat akibat terpeliharanya innovative public participation. 

Dengan kata lain, jika warga senang, Pemkot pun pasti merasakan hal yang sama. Inilah, menurut Dewi Harun (2014) dalam Personal Branding, dikatakan sebagai wujud apresiasi warga terhadap  figur seorang pemimpin dan implementasi program-programnya untuk kesejahteraan mereka. 

Akhirnya, partisipasi publik harus terus diupayakan eksistensinya untuk newujudkan Smart City: smart mobility dan smart people.

Dengan begitu, hasil pembangunan dari partisipasi publik  melalui wakil mereka, baik melalui kelurahan, anggota dewan, civil society, dll. benar-benar menjadi sinergitas dan social linkages menuju konsep pembangunan yang berkeadaban. 

Jadi, semakin banyak aspirasi warga, semakin cerdas Pemkot membuat skala prioritas kebijakan pembangunan dan mewujudkannya sesuai kemampuan alokasi anggaran.

Last but not least, kebijakan publik harus terus disuarakan dari berbagai kanal demokrasi dan birokrasi Pemkot harus memasang telinga lebar-lebar dan berjiwa fleksibel dalam merespon tuntutan warga untuk kepentingan bersama, bukan berbasis political  pull-push theory yang merugikan salah satu pihak. 


Semoga upaya menghidupkan partisipasi publik menjadi agenda tetap Pemkot dalam melakukan, meminjam terminologi Osborn, reinventing Government untuk menata good governance dan mewujudkan clean government. Semoga kita bisa! Amin.

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)