Prof.Ahmad Muzaki dilantik menjadi Rektor Uinsa

$rows[judul] Keterangan Gambar : Prof. Ahmad Muzaki dilantik menjadi Rektor Uinsa

Surabaya wartapro.com

Hanya pendidikan yang mampu mengubah kondisi sosial seseorang menjadi lebih baik di tengah masyarakat. Hanyalah orang-orang berilmu yang mampu mengangkat derajat guna berperan aktif di tengah perubahan masyarakatnya.

Prof. Akh. Muzakki, Grad Dip. SEA. M. Ag. M.Phil. Ph.D, membuktikan hal demikian. Guru Besar bidang sosiologi pendidikan, berhasil dilantik sebagai Rektor Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (UINSA) Surabaya, periode 2022-2026.

Berkepribadian tegas dan integritas terjaga, Prof Akh Muzakki, tak pernah lelah menyampaikan pentingnya pendidikan untuk kemajuan masyarakat. Baginya, cita-cita yang tinggi harus diperjuangkan tanpa lelah.

“Jangan pernah menyerah untuk mencapai apa yang diinginkan. Semua pasti ada jalannya,” tutur Prof Akh Muzakki, yang dilantik oleh Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas sebagai Rektor UINSA di Jakarta, Senin 6 Juni 2022.

Lahir di Sidoarjo 9 Februari 1974, Prof Akh Muzakki menempa diri dalam pergulatan hidup dari keluarga sederhana. Bahkan, diakuinya, secara materi tidak akan mampu menempuh pendidikan hingga jenjang yang paling tinggi. Dengan kerja keras dan keinginan yang kuat mengalahkan semua itu.

“Jangan tertunduk pada kemiskinan. Kemiskinan adalah sebagian dari romantika hidup,” ujar penulis buku “Eduspiring, Sekolah Inspirasi, Hidup Berprestasi” terbit 2017.

Karena keinginan kuat itu, Prof Muzakki terus belajar dan terus belajar. Hingga dia tidak pernah membutuhkan uang untuk bisa bersekolah. “Semuanya beasiswa, free,” tutur peraih gelar Ph.D dari The University Of Queensland, Australia.

Memang ada kesan jumawa ketika ia selalu menempelkan namanya dengan sederet gelar panjang, meskipun di forum yang tak ada kaitannya dengan dunia akademik. Hal itu semata-mata sebagai bagian dari menebarkan inspirasi kepada publik.

Semua itu, memang tidak didapat dengan mudah. Prof Akh Muzakki mengakui, proses meraih pendidikan tinggi itu penuh liku. Tak jarang cemoohan pun diarahkan pada dirinya.

Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UINSA (2018-2022), mengakui, sejak kecil hingga masuk kuliah, tidak pernah menempuh pendidikan di sekolah-sekolah yang keren.

Akh Muzakki merampungkan pendidikan formal di Madrasah Ibtidaiyah Nahdlatul Ulama, melanjutkan ke Madrasah Tsanawiyah Negeri dan Madrasah Aliyah Negeri, semua di Sidoarjo.

“Saya dari kecil sekolah di madrasah. Zaman dulu mana ada madrasah yang keren, hingga kuliah di UINSA, dulu masih IAIN. Karena, tidak keren itu, saya diejek dan dicibir, mana mungkin bisa sekolah tinggi, sekolahnya saja tidak mutu. Tapi itu membuat saya termotivasi untuk terus belajar,” tutur putra pasangan Imam Syafii (almarhum) dan Ibu Zulaicha ini.

“Madrasah yang mengajari saya bagaimana menjadi individu yang pinter dan bener sebagai kerangka kesempurnaan seorang hamba yang ideal,” tandas suami Erna Mawati

Intelektualisme, Tanggung Jawab Sosial

Sebagai kaum terpelajar, Prof Akh Muzakki tak hanya bergelut di dunia kampus semata. Ia pun mengabil bagian di tengah masyarakat. Aktif berorganisasi, guna menyalurkan kegelisahan intelektualnya. Sebagai Sekretaris Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur dan Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur.

Akh Muzakki, yang saat belajar di Australia aktif di Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Australia, meyakini bahwa kalangan akademisi akan muncul sebagai pengkritik tajam terhadap kemapanan yang hegemonik. Di situlah peran-peran intelektual menjadi bagian penting dalam perubahan masyarakat. Tentu perubahan ke arah perbaikan-perbaikan menuju kemajuan.

Sebagai bagian kelas menengah di Indonesia, bagi peraih gelar master of philosophy (MPhil) dari ANU, kalangan intelektual kampus justru berpotensi untuk menjadi kritis terhadap segala bentuk hegemoni kemapanan.

Prof Akh Muzakki berkeyakinan bahwa “sentralnya semangat dan nilai kebebasan akademik yang mereka miliki dan junjung tinggi sebagai bagian dari civitas akademika dalam posisi mereka sebagai penjaga moral sosial.

Memang, kalangan akademisi memiliki tanggung jawab untuk melakukan kritik terhadap segala bentuk penyimpangan moral sosial. Seiring dengan karakter tipikal umum kelas menengah sebagai kelompok sosial yang paling “cerewet”, kritis, dan “tidak tahan” terhadap kebobrokan.

Potensi akademisi dengan kekuatan gagasan dan kapasitas artikulasinya pun sangat potensial untuk menjadi penggerak atas terjadinya sebuah perubahan.

Kaum terpelajar — kini di antaranya berwujud dalam profesi akademisi — berperan sebagai elemen penting bagi perubahan Indonesia menyusul posisi mereka sebagai kelas menengah.

“Dari sisi aspirasi, akademisi merepresentasikan sebuah kelompok kelas menengah. Kritisisme sangat lekat dengan karakter akademisi, sebagaimana kelompok kelas menengah pada umumnya,” tutur mantan Ketua Dewan Pendidikan Jawa Timur.

Perubahan sosial digerakkan, antara lain, dari kalangan Kelas Menengah. Prof Akh Muzakki mengingatkan, moralitas sosial publik tampak menjadi pertimbangan bagi lahirnya kritisisme di sejumlah kalangan akademisi. Orang pun akhirnya mempersepsi kekuatan kalangan akademisi sebagai kekuatan moral.

Sikap kritis bagi kaum intelektual terejawantah dalam gagasan-gagasan yang ditulis, baik di media massa (surat kabar, majalah dan jurnal) maupun dalam bentuk buku.

“Ketahuilah apa yang kamu tulis, jangan tulis apa yang kamu ketahui,” pesan Prof Akh. Muzakki, mengajak merenung bersama. (*)

 

Tulis Komentar

(Tidak ditampilkan dikomentar)