TANTANGAN ISNU MENYONGSONG 1 ABAD NAHDLATUL ULAMA
Oleh: Ahmad Adip Muhdi
Peringatan 1 abad Nahdlatul Ulama (NU) yang akan jatuh pada 16 Rajab 1444 Hijriyah atau bertepatan dengan 7 Februari 2023 besok, Pengurus Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatu Ulama (PP ISNU) juga akan menyambutnya dengan Konferensi Nasional ISNU yang ditempatkan di kampus Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo (UNUSIDA) yang lokasinya tidak jauh dari lokasi acara peringatan 1 abad NU tersebut. Siap hadir 200 guru besar dan 500 doktor NU se-Indonesia.
Kehadiran para cendekiawan NU tersebut tentu saja diharapkan bisa memberikan sumbangsih pemikiran bagi peta-jalan perkembangan NU secara umum dan bagi internal ISNU secara khusus. Sebagai salah satu Badan Otonom (Banom) NU, ISNU diharapkan mampu memerankan fungsi utamanya membantu NU melaksanakan kebijakan-kebijakannya pada kelompok sarjana atau komunitas intelektual.
ISNU sendiri sudah menginjak usia 13 tahun sejak ditetapkannya pada Muktamar ke -32 NU di Makassar tahun 2010, namun demikian fungsi yang diembannya belum menunjukkan performance yang maksimal pada semua jenjang kepengurusan. Oleh karena itu, penting kiranya melakukan refleksi dan reorientasi yang mendalam terkait eksistensi ISNU dalam upaya mengoptimalkan kembali fungsi-fungsi tersebut sehingga mampu menghadirkan jati diri ISNU yang dinamis dan responsif terhadap tantangan ke depan.
ISNU sebagai gate way
Salah satu fungsi penting ISNU adalah menjadi gate way (pintu masuk) bagi para sarjana NU untuk berkhidmah di jam’iyah Nahdlatul Ulama. Ketidakmaksimalan fungsi ISNU sebagai pintu gerbang bagi masuknya para sarjana NU ke dalam gerbong jam’iyah Nahdlatul Ulama, dalam beberapa kasus, merupakan sebuah masalah serius yang membutuhkan penanganan supaya tidak berakibat pada minimnya sarjana NU yang menjadi kader NU.
Fenomena yang semacam ini disebabkan oleh dua hal: pertama dari pihak ISNU sendiri yang kurang mengfokuskan visi-misinya pada komunitas sarjana sehingga kurang populer dan kurang dikenal di kalangan sarjana. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini banyak ISNU yang lebih berperan sebagai Banom “serba bisa” yang mengerjakan semua bidang kegiatan dari A sampai Z dan menyasar semua kalangan, sementara komunitasnya sendiri kurang tersentuh.
Yang kedua, ketidakmaksimalan tersebut masih diperparah oleh sikap sekelumit pengurus NU yang terkesan kurang terbuka bagi masuknya para sarjana NU secara umum. Kesan yang berkembang saat ini, NU hanya “welcome” pada sarjana yang memiliki latar belakang keluarga pesantren atau alumni pesantren. Karena itu, perlu upaya yang lebih serius guna menangani kedua masalah tersebut sehingga potensi sarjana NU yang demikian besar itu bisa terakomodir dengan baik.
Penguatan ISNU
Setidaknya ada tiga langkah yang perlu dilakukan terkait optimalisasi fungsi ISNU sebagai gate way sarjana NU. Langkah pertama adalah memperjelas dan mempertegas tarjet dari setiap kegiatan ISNU di semua jenjang kepengurusan. Kalau perlu “dizoom” supaya kelihatan lebih gamblang seperti apa program-program kegiatan ISNU yang selama ini ada. Sebab seringkali apa yang diprogramkan oleh ISNU tidak menyasar ke komunitas sarjana sebagaimana yang diamanahkan oleh PD/PRT ISNU. Kegiatan ISNU sudah merambah ke berbagai sektor yang lain dan tumpang tindih dengan kegiatan Banom yang lain.
Sebagaimana maklum, jumlah Banom maupun Lembaga di bawah naungan NU pada setiap jenjang kepengurusan bisa mencapai belasan dan masing-masing memiliki sasaran kegiatan sendiri-sendiri. Oleh karena itu, tatkala tiap-tiap Banom dan Lembaga tersebut tidak disiplin dalam menjalankan programnya, maka yang terjadi adalah saling tumpang tindih dan saling sengkarut. ISNU tidak boleh ikut-ikutan terjebak pada kegiatan-kegiatan yang tidak berkarakter intelektualistik dan menyasar nonsarjana.
Langkah kedua, setelah fokus pada kegiatan pengembangan intelektualisme yang sasarannya adalah komunitas sarjana NU, maka ISNU bisa menindaklanjuti dengan melakukan internal analysis secara lebih detail seperti apa problematika sarjana NU yang ada di masyarakat sekitar. Sejauh ini problematika para sarjana dihadapi secara individual, oleh karena itu alangkah indahnya tatkala ISNU hadir di tengah-tengah mereka sebagai organisasi profesional yang peduli pada urusan mereka dan mendampingi mereka sampai kelar dari masalahnya.
Yang ketiga, perlu juga mencermati tipologi sarjana NU yang menyebar di masyarakat agar tidak salah sasaran untuk yang kedua kalinya. Kreterianya seperti apa? Apakah yang disebut sarjana NU itu adalah sarjana yang lulus dari Perguruan Tinggi yang berlabel NU (PTNU)? Kalau itu definisinya, maka jumlah sarjananya relatif sedikit karena jumlah PTS-NU yang telah meluluskan sarjana juga baru sedikit. Dalam konteks ini, PTNU meliputi universitas, institut, sekolah tinggi, politeknik dan akademi yang jumlahnya tidak lebih dari 179. Lalu bagaimana dengan status warga NU yang lulus dari PTN atau PTS yang lain terlebih PTM (Perguruan Tinggi Muhammadiyah)? Bukankah mereka juga sarjana NU?
Tipologi Sarjana NU
Menurut hemat penulis, identifikasi sarjana NU harus didasarkan pada background keluarganya karena itu merupakan institusi pendidikan pertama (madrasat al-ula) yang telah mendidiknya, bukan atas dasar institusi perguruan tinggi yang meluluskannya. Karena memang faktanya warga NU yang kuliah di PTN atau PTS di luar PTNU juga sangat banyak jumlahnya. Bahkan sebagian dari mereka adalah alumni PT Luar Negeri. Idealnya mereka semua harus dirangkul dalam wadah ISNU.
Selain itu, background pendidikan tingkat dasar dan menengah seorang sarjana justru memiliki poin penting dalam mengindentifikasi apakah dia masuk kategori sarjana NU atau bukan. Jadi yang menjadi tolok ukurnya bukan pendidikan sarjananya tapi pendidikan sebelumnya. Setelah itu baru lingkungan keluarganya, ke-NU-an seorang sarjana dapat juga dinilai dari situ, apakah mereka tergolong keluarga ahlussunnah waljama’ah an-nahdliyah atau bukan. Dengan demikian maka tidak akan salah identifikasi mana yang nahdliyin dan mana yang bukan.
Berdasarkan potensi sarjana NU yang demikian besar di atas, perlu juga diamati bagaimana pola interaksi mereka dengan NU sebagai organisasi induk dan ISNU sebagai organisasi cabangnya. Pola interaksi mereka dengan NU tersebut secara sederhana dapat dipilah menjadi dua tipologi: Sarjana NU Kultural dan Sarjana NU Struktural. Sebagaimana warga NU pada umumnya yang juga terpolarisasi menjadi dua yaitu NU struktural dan NU kultural. Tipologi yang pertama menggambarkan kelompok sarjana yang memiliki latar belakang keluarga dan riwayat pendidikan yang berafiliasi dengan NU, sedangkan tipologi yang kedua lebih menggambarkan kelompok sarjana yang tidak saja berlatar belakang seperti itu tapi mereka sudah masuk dalam struktur organisasi NU baik di level Ranting, Majelis Wakil Cabang, Pengurus Cabang, bahkan Pengurus Wilayah atau Pengurus Besar. Jadi dalam konteks ber-NU, dikenal apa yang disebut Sarjana Kultural dan Sarjana Struktural.
Dua kelompok sarjana tersebut harus menjadi sasaran kegiatan ISNU walaupun yang tipologi kultural cenderung apatis atau enggan bergabung dengan ISNU karena mindset berpikirnya masih menganggap berorganisasi sebagai beban. Mereka mau bergabung dengan NU atau ISNU kalau sekiranya prospeknya menguntungkan mereka secara politik, finansial maupun karir. Jadi tidak sebagaimana komunitas pelajar yang digarap oleh Banom IPNU atau IPPNU yang belum memikirkan karir, atau ibu-ibu rumah tangga NU yang digarap oleh Banom Muslimat, komunitas sarjana NU ini rata-rata sangat sibuk berkarir di bidangnya masing-masing. Oleh karena itu, menghadapi komunitas yang semacam ini ISNU perlu menyusun berbagai langkah dan kebijakan yang fair guna merespon profil sarjana yang memiliki beban dan tanggungjawab mengembangkan karir pada bidang pekerjaan masing-masing.
Memang agak sulit untuk memastikan berapa jumlah sarjana NU kultural dengan berbagai profesinya tersebut mengingat mereka cenderung bersikap menutup diri ketika disodori formulir pendaftaran anggota ISNU baik secara offline maupun online. Mereka cenderung menolak dengan alasan sudah memiliki beban dan tanggungjawabnya profesi yang berat. Kalau aktif di ISNU apalagi menjadi pengurusnya, tentu itu akan menjadi beban pekerjaan tambahan yang memberatkan sementara kompensasi finansialnya tidak ada. Hanya diiming-imingi “keberkahan” hidup.
Jadi tantangan ISNU saat ini dan mendatang, menyertai peringatan Satu Abad NU adalah bagaimana meng-NU-kan sarjana yang secara kultural sudah NU namun secara struktural mereka masih “di luar” NU. Bukan menyasar kelompok sarjana NU struktural yang sudah aktif di NU dan bahkan masuk dalam struktur kepengurusan Banom atau lembaga NU yang lain. Apalagi kalau kegiatan ISNU menyasar ke kelompok masyarakat Nahdliyin di luar sarjana, tentu hal itu sangat tidak diharapkan.
Wa Allah a’lam bi al sawab.
Tulis Komentar